airputih

Jangan Berkata Jangan!

oleh: Rahman Hidayat | www.matalino.web.id

Berapa kali sehari kita berkata – kadang-kadang berteriak – jangan kepada anak-anak kita. Terutama yang masih berusia balita. Kurang dari lima kali? Sepuluh kali? Atau tak terhitung berkali-kali. Mengapa kita berkata jangan kepada mereka? Khawatir karena tindakan mereka bisa berbahaya? Takut barang yang mereka jamah dan mainkan rusak? Khawatir ada orang lain yang terganggu dan marah? Dan rasanya masih banyak khawatir dan takut-takut lain yang mendorong lidah kita berseru tidak!.
Khawatir dan takut itu, tentu perspektif khas pikiran orang dewasa. Anak-anak balita belum banyak tercemari keduanya. Niat mereka masih mencakrawala. Belum terjeruji rasa takut dan khawatir. Mereka berbuat sesuatu karena ingin tahu dan mencontoh. Ingin bisa melakukan hal yang serupa dengan orang dewasa.


Kemarin sore, waktu mendung sudah menghitam saya persiapkan peralatan pertukangan. Sebuah gergaji baru yang belum sempat dikikir mata tajamnya, palu, tang, obeng dan paku. Janji untuk membuat rak, mendorong saya segera menuntaskannya. Si kecil, melihat saya menenteng bermacam alat di kedua tangan langsung sibuk mengekor di belakang. Mulutnya sertamerta bertanya mau bikin apa bhi?.

Alat-alat saya taruh di teras, lalu saya jelaskan apa yang mau saya buat. Seperti biasanya tentu ia tak akan bisa diam. Oleh karena itu saya beri tugas dia menjaga paku-paku. Memisahkan antara paku baru yang putih dengan yang coklat karena bekas. Saya mulai memotongi kayu sesuai ukuran, ketika butir air hujan makin menderas. Atap beranda tak mampu mengusir tempias. Tapi pekerjaan sayang kalau tak tuntas.

Di sela-sela memaku kayu, kala palu tergeletak si kecil memungutnya. Mencoba mengayunkan mengetuk lantai keramik. Kontan, saya berseru jangan. Ups! Tak mudah berpuasa dari kata ini. Tak bijak melarang tanpa menjelaskan sebab. Dengan sesal yang masih tersisa saya menerangkan mengapa saya melarangnya. Keramik bisa pecah dan kaki bisa terluka. Kali ini ia lupa. Biasanya ia tangkas menjawab. Aku hati-hati kok bhi!.

Ketika bilah-bilah papan sudah terpaku pada landasan reng kayu, imaji kecilnya terbit seketika. Jembatan-jembatan! Sembari kaki kecilnya melangkah di atas bilah papan. Teringat janji tadi, saya mengunci mulut, rapi. Hanya mata yang memandang penuh berjuta harap. Papan tipis dari kayu lunak itu tak patah atau retak tertindih beban belasan kilogram. Syukurlah semua aman. Dua papan yang belum saya satukan ia bawa ke dalam. Mencari tempat longgar untuk bermain jembatan-jembatanan. Ketika saya memintanya, ia mengembalikannya.

Orang dahulu bilang, alah bisa karena biasa. Gagal mencoba sudah biasa. Tak pernah gagal, tak sempat kita belajar. Betapa pun sulitnya mengubah kebiasaan, tetap harus diusahakan. Mengubah kebiasaan berarti mengubah perspektif pikiran. Kalau tidak ingin kreatifitas mudah layu dan terkebumikan, haruslah pelit mengumbar kata jangan. Tapi ya itu tadi, buat yang satu ini, tak mudah untuk pelit!

Related

pendidikan 3162360651459320718

Posting Komentar

emo-but-icon

Follow Us

Terbaru

Populer

Respon

Berlangganan Lewat E-Mail:

Daftarkan untuk menerima 1 email/hari tanpa iklan dan spam

Green Canyon Pangandaran
open trip pulau harapan

Pengunjung

item